Cerita Rakyat Pulau Belumbak sebagai Warisan Budaya Kabupaten Sanggau
Tradisi adalah sebuah kebiasaan atau perilaku yang dilakukan oleh masyarakat secara turun temurun dari nenek moyang di daerahnya. Tradisi dan budaya juga merupakan beberapa hal yang menjadi sumber dari akhlak dan budi pekerti. Sedangkan adat istiadat merupakan sebuah wujud dari rasa daya cipta suatu bangsa begitu juga adat budaya yang masih tetap ada, khususnya di wilayah Kalimantan Barat sebagai sebuah wilayah yang cukup luas yang ada di Indonesia, diantara provinsi Kalimantan Barat meliputi beberapa kabupaten yang mempunyai adat istiadat yang multikultural, dan masih tetap kuat untuk dipertahankan adat istiadat masyarakatnya. Termasuk salah satu diantaranya adalah cerita rakyat Pulau Belumbak yang berasal dari Kecamatan Meliau Kabupaten Sanggau.
Cerita rakyat di daerah Kalimantan Barat
ini merupakan warisan leluhur kita. Cerita rakyat ini tidak tertulis, tetapi
diceritakan dari mulut ke mulut, dari nenek ke ibu, dari ibu ke anak, dari anak
ke cucu dan seterusnya secara estafet. Cerita ini bukan hanya sekedar pelipur
lara dikala duka, tetapi juga mengandung nasehat-nasehat yang berguna bagi anak
cucunya dalam menempuh hidup dan kehidupan.
Belumbak dalam bahasa Kalimantan Barat
berarti berlomba. Bila kita menyusuri Sungai Kapuas dari Kota Pontianak menuju
Sanggau maka diantara Kota Tayan dan Kota Sanggau, lebih tepatnya di Kota
Meliau, kita akan melewati dua buah pulau yang berdampingan ditengah Sungai
Kapuas. Bentuk pulau-pulau tersebut menyerupai dua buah kapal yang sedang
berlomba. Oleh sebab itu kedua pulau tersebut dinamai oleh penduduk dengan
PULAU BELUMBAK (berlomba).
Menurut cerita dari para leluhur dahulu
kala yang dituturkan dari mulut kemulut, pulau-pulau tersebut asalnya dari dua
buah kapal milik dua bersaudara. Pada zaman dahulu di mana lokasi kedua
pulau tersebut berada, terdapat sebuah kota yang bernama Kota Meliau. Walaupun
kota tersebut tidak begitu besar, tetapi penduduknya cukup banyak.
Di bagian pinggiran kota tersebut hiduplah seorang
janda miskin dengan kedua orang anak laki-lakinya. Ayah mereka telah meninggal
dunia. Sehari-harinya kerja mereka hanya mnecari kayu bakar yang mereka jual
kepada orang kampung demi sesuap nasi. Dari tahun ketahun mereka menjalani
kehidupan yang demikian sehingga kedua anaknya tumbuh menjadi dewasa.
Ketika kedua anaknya telah menginjak dewasa, timbulah keinginan kedua anak
tersebut untuk merantau ke negeri seberang. Mereka ingin mengadu nasibnya di
perantauan dengan harapan nasibnya dapat berubah. Sang ibu berat sekali hatinya
untuk melepaskan kepergian kedua anaknya, disamping umurnya yang semakin hari
semakin tua. Tetapi keinginan kedua putranya tidak dapat dihalang-halangi.
Akhirnya ibu tersebut terpaksa mengabulkan juga keberangkatan kedua anaknya
yang sangat ia cintai itu.
Dua
ekor anak ayam jantan yang menjadi milik kedua anak tersebut dititipkan supaya
dipelihara oleh ibunya hingga kelak mereka kembali.
Pada
hari keberangkatan kedua bersaudara itu, mereka hanya menumpang sebuah kapal
dagang yang datang ke kota tersebut. Di kapal itu untuk sementara mereka
menjadi kuli. Ibunya hanya dapat membekali mereka dengan ketupat nasi
masing-masing tiga buah. Namun demikian ibu tersebut mengiringi kedua anaknya
dengan doa, semoga selamat di perantauan dan berhasil mencapai apa yang mereka
cita-citakan.
Hari
berganti bulan ,dan bulanpun berganti tahun, entah berapa purnama telah
berlalu. Sang ibu tetap menunggu dan menunggu kedatangan kedua anaknya. Usianya
semakin tua, dan rambutnyapun semakin banyak yang memutih. Tenaganya semakin
berkurang karena ketuaannya, dan ia pun sering kali sakit-sakitan. Namun ia
tetap bekerja menurut kemampuannya demi sesuap nasi.
Di
perantauan kedua kakak beradik itu berhasil. Mereka akhirnya menjadi orang yang
kaya raya. Masing-masing telah memiliki kapal yang cukup besar dan bagus.
Mereka memiliki para pekerja dan para pengiring. Merekapun masing-masing telah
beristeri yang elok rupawan parasnya. Kecantikan para isteri mereka menurut
sastera atau kisah lama diibaratkan: hidung mancung, pipi bagai pauh dilayang,
rambut bak mayang terurai,, bibir bagai delima merekah, alis bagai semut
beriring, betis seperti batang padi, wajah bak bulan purnama, mata tajam, air
diminum nampak terbayang, senyum seperti limau seulas, ..... entah apa lagi,
yang jelas cantik sekali.
Setelah
beberapa lama mereka merantau, timbul hasrat kedua bersaudara itu untuk kembali
ke kampung halamannya di Kalimantan Barat. Demikianlah kedua kapal kakak
beradik itu berlayar menuju Kalimantan Barat. Beberapa lama mereka berlayar,
sampailah mereka dipesisir Kalimantan Barat dan langsung masuk Sungai Kapuas.
Setelah beberapa lama menyusuri Sungai Kapuas, akhirnya kedua kapal tersebut
tiba di wilayah Sanggau dan berlabuh di tengah Sungai Kapuas.
Sang
ibu yang telah tua renta itu mendengar berita dari orang sekitarnya, bahwa yang
datang itu kedua anaknya. Bukan main suka citanya, karena sudah lama tidak
bertemu dengan kedua anaknya yang selalu dia rindukan. Ia beringsut-ingsut naik
perahu sambil membawa ubi rebus dan dua ekor ayam jantan. Ayam tersebut yang
dulu ketika ditinggalkan oleh anak-anaknya masih kecil, dan kini telah menjadi
ayam jantan yang besar.
Malang
tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, ketika ibunya sampai dikapal
anaknya yang sulung, anaknya malu mengakui ibunya yang buruk dan miskin itu. Ia
malu kepada isterinya yang cantik dan malu kepada bawahannya. Ketika ibunya
akan memeluknya karena rindu, ia tolak orang tua itu sambil berkata: “ Hai
orang tua renta, apakah kau ini orang gila? Kau bukan ibuku. Ibuku telah
meninggal. Enyahlah segera engkau dari sini. Saya tidak kenal siapa engkau”.
Mendengar
kata-kata anaknya, orang tua itu menyahut: “Anakku, mengapa engkau telah lupa
kepada ibumu? Ini ayam jantan yang dahulu masih kecil ketika kalian berangkat”.
Mendengar kata-kata ibunya itu kemarahan anaknya semakin menjadi-jadi. Ibunya
ia tending dengan keras. Orang tua yang lemah itu tersungkur, kepalanya
berdarah. Lama sekali orang tua itu tak sadarkan diri. Setelah ia sadar iapun
pergi meninggalkan kapal itu, lalu menuju ke kapal anaknya yang seorang lagi.
Ibu tua ini berharap akan mendapat sambutan yang baik dari anaknya yang bungsu
ini. Tetapi di kapal anaknya yang kedua inipun ia mendapat perlakuan yang sama.
Bahkan di sini matanya menjadi buta karena ditusuk dengan tongkat oleh anaknya
yang kedua.
Orang
tua itu menangis lalu pulang. Sedih hatinya mendapat perlakuan yang menyakitkan
dari kedua anaknya yang dulu ia cintai. Tetapi kesedihan itu tiba-tiba menjadi
kebencian. Kata orang arif bijaksana, bahwa batas antara cinta dan benci itu
tipis sekali, lebih tipis dari selembar kertas yang paling tipis sekalipun.
Cinta yang berubah menjadi benci akan berbahaya.
Di
rumahnya orang tua itu membuat sebuah pedupaan. Pedupaan yang sedang berasap
itu ditaruhnya di lubang lesung. Ia kemudian naik ke atas lesung itu. Sambil
mengguncangkan susunya kiri dan kanan, iapun berseru: “Ya Tuhan..., kedua anak
kandungku telah durhaka kepada ibunya. Apakah benar mereka itu bukan anakku?
Sambil terus mengguncangkan kedua susunya, orang tua itu berseru lagi: “Kalau
mereka itu benar anakku dan mereka meminum air susu ini, timpakanlah bala
bencana atas mereka”. (cara orang menyumpah zaman dahulu)
Tidak
berapa lama orang tua itu mengucapkan kata-katanya yang terakhir, angin mulai
bertiup. Mula-mula perlahan tetapi makin lama makin kencang. Di langit awan
hitam semakin menebal. Tidak lama langit menjadi gelap gulita. Angin menderu
dan berdesing disertai kilat dan petir sambung-menyambung. Bunyi guruh
menggelegar seperti membelah bumi. Tiba-tiba datang angin putar, yang oleh
penduduk Kalimantan Barat disebut angin puting beliung. Angin puting beliung
yang dahsyat itu menerpa kapal milik kedua bersaudara yang berada di tengah
sungai Kapuas. Tiang-tiang layarnya rusak dan patah. Angin puting beliung ini
datang berulang-ulang, merupakan kutukan Tuhan terhadap anak yang durhaka
kepada orang tuanya. Kedua kapal tersebut miring, lalu terangkat ke atas
kemudian terempas ke air tanpa ampun. Akhirnya kedua kapal itu tenggelam, dan
tak seorangpun selamat, termasuk harta benda di kapal tersebut semuanya
musnah. Sesaat sebelum kedua kapal itu tenggelam, kedua anak durhaka itu
berteriak minta ampun kepada ibunya. Tetapi sudah terlambat, nasi sudah menjadi
bubur, kutukan Tuhan telah berlaku atas mereka.
Setelah
kedua kapal itu teggelam angin mulai mereda, langit sedikit kembali cerah, dan
akhirnya cuaca kembali terang. Angin berembus perlahan-lahan, seolah-olah tidak
pernah terjadi apa-apa sebelumnya.
Beberapa
tahun kemudian, muncullah di tengah Sungai Kapuas di tempat tersebut dua buah
pulau yang bentuknya menyerupai kapal yang sedang berlomba. Oleh karena itu
kedua pulau tersebut oleh penduduk setempat dinamakan “PULAU BELUMBAK”
(berlomba). Sampai sekarang kedua pulau trersebut masih dapat kita lihat,
beralokasi antara Kota Tayan dan Sanggau. Tepatnya di Kecamatan Meliau.
Dewasa ini banyak pepohonan hutan yang tumbuh di sana,
dan penghuninya adalah berjenis-jenis kera, populasinya semakin meningkat. Hal
ini dikarenakan tidak ada orang yang mau mengganggu kera-kera tersebut, sebab
dianggap keramat.
Pesan moral yang di dapat dari cerita ini ialah kita jangan durhaka kepada orang tua kita, akan ada hal buruk yang terjadi jika durhaka kepada orang tua kita.
keren gan
BalasHapusAduh kok keren
BalasHapuskeren sekaligus
BalasHapusMGM Grand Casino and Spa - MapYRO
BalasHapusMGM Grand Casino and Spa. 남원 출장마사지 MapYRO location, map showing MGM Grand Casino and Spa, MGM Grand Casino and Spa, MGM Grand Casino 속초 출장마사지 and Spa, 정읍 출장샵 MGM Grand Casino 군포 출장마사지 and 아산 출장마사지 Spa, MGM Grand